Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 telah menyebabkan banyak perubahan dalam hal pola kerja, cara bersosialisasi, gaya hidup, dan metode belajar. Perubahan yang terjadi secara mendadak memaksa semua orang untuk beradaptasi semaksimal mungkin. Setiap orang harus berusaha tetap sehat secara fisik dan mental, tetap memiliki sumber penghasilan, dan mengembangkan diri menjadi individu yang lebih baik.
Sebenarnya apa yang membuat Sobat mampu bertahan menghadapi krisis akibat pandemi?
Apakah Sobat masih ingat tentang reaksi dunia maupun diri sendiri di masa awal pandemi?
Semua media fokus terhadap pandemi dan membagikan informasi dalam berbagai versi. Hal tersebut menimbulkan rasa takut dan kecemasan serta menimbulkan tindakan reaktif dalam menyikapinya. Perilaku individu dalam menyikapi pandemi dibagi menjadi tiga zona sebagai berikut:
Saat Sobat berperilaku reaktif karena rasa takut dan cemas, Sobat sedang berada di fear zone. Dalam zona ini, banyak orang mengalami stres karena merasakan gap antara hal yang ingin dikontrol dengan realita yang justru bertolak belakang. Pandemi berkepanjangan membuat banyak orang mengira bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi tersebut. Bagaimana cara keluar dari fear zone?
Ada satu kata yang sering dibahas selama pandemi, yaitu RESILIENCE (daya lenting atau ketahanan). Amit Sood menyatakan bahwa resiliensi adalah “the ability to withstand adversity and bounce back and grow despite life’s downturns”. Kemampuan bertahan, bangkit dan tumbuh tersebut akan membawa Sobat melewati fear zone dan memasuki learning zone dan growth zone. Namun, resiliensi bukanlah suatu keadaan saat seseorang yang mengalami kesulitan akan langsung bangkit lagi ibarat bermain trampolin. Resiliensi dapat dianalogikan sebagai seseorang yang sedang berjuang mendaki gunung di medan yang sangat sulit. Resiliensi membutuhkan waktu, kekuatan, dan dukungan dari orang-orang terdekat.
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan ketahanan alami atau resiliensi. Kendati demikian, resiliensi setiap individu berbeda-beda dan bersifat unik. Tingkat ketangguhan setiap manusia berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ketahanan tersebut didefinisikan sebagai Adversity Quotient.
Istilah Adversity Quotient (AQ) dicetuskan oleh Paul G. Stoltz untuk menjembatani kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient atau IQ) dan kecerdasan emosional (Emotional Quotient atau EQ). Orang-orang yang memiliki AQ tinggi mampu bertahan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan serta dapat mengubah hambatan menjadi peluang. Menurut Stoltz, IQ dan EQ tinggi akan sia-sia bila tidak dibarengi dengan daya juang dan kemampuan merespon kesulitan dari dalam diri.
Stoltz mengelompokkan individu menjadi 3 tipe, yaitu: Quitter, Camper dan Climber. Penggunaan istilah tersebut terinspirasi dari para pendaki gunung ketika hendak menaklukkan puncak Everest.
Quitter – Tipe ini memilih keluar, mundur, dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Orang dengan karakter quitter mudah menyerah dan berputus asa bahkan sebelum proses pendakian itu dimulai. Biasanya orang dengan kecerdasan AQ ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam hidupnya.
Camper – Tipe ini puas dengan hal-hal yang telah dicapai dan tidak berinisiatif mengembangkan diri lebih jauh. Setelah melangkah dan menanggapi tantangan, tetapi setelah orang berkarakter camper akan berhenti saat mencapai tahap tertentu meskipun masih ada kesempatan untuk berkembang lebih baik lagi.
Climber – Tipe ini adalah si pendaki yang terus berjuang sepanjang hidupnya tanpa mempedulikan seberapa besar kesulitan yang dihadapi. Climber tidak dikendalikan lingkungan, melainkan berusaha memberi pengaruh pada lingkungannya. Orang-orang berkarakter climber menganggap kesulitan sebagai peluang untuk maju dan berkembang. Itulah sebabnya climber siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan menuju perubahan positif.
Orang-orang dengan tipe climber mampu bertahan menghadapi kesulitan. Sebab mereka tidak menyerah dan hidup dalam fear zone seperti seorang quitter. Mereka juga tidak berusaha sekadarnya seperti seorang camper. Melainkan mereka mencoba memasuki learning zone dengan mendaki lebih tinggi dan memberi pengaruh baik bagi lingkungan. Hingga akhirnya mereka terus bertumbuh dan menemukan cara baru untuk lebih produktif. Dengan kata lain, mereka berhasil memasuki growth zone.
Lantas bagaimana caranya agar Sobat bisa menjadi seorang climber? Mari menyimak 4 dimensi pokok AQ:
Control: kemampuan seseorang mengendalikan kesulitan yang dihadapi. Seorang climber tahu bahwa dirinya memegang kendali atas kehidupannya sendiri, terutama bila ingin mencapai keberhasilan dan keluar dari fear zone. Seseorang yang tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri biasanya cenderung mudah menyerah.
Origin dan Ownership: Origin adalah kemampuan seseorang mengidentifikasi sumber kesulitan yang berasal dari diri sendiri atau lingkungan. Rasa bersalah yang terlalu besar akan menyebabkan diri sendiri merasa tak berdaya. Ownership adalah kemampuan seseorang dalam mengakui adanya kesulitan dan turut bertanggung jawab mengatasi kesulitan dan kegagalan tersebut.
Reach: tolak ukur yang menentukan sejauh mana kesulitan yang dialami mempengaruhi aspek kehidupan Sobat. Sobat harus bisa membuat batasan agar jangkauan kesulitan tersebut tidak meluas. Karena jangkauan kesulitan yang semakin luas membuat Sobat kesulitan melangkah maju.
Endurance: daya tahan yang dimiliki seseorang terkait dengan harapan dan sikap optimis untuk mencari jalan keluar terbaik.
Tak ada yang tahu persis kapan pandemi benar-benar berakhir. Penemuan vaksin menjadi titik terang dalam menyambut erat new normal. Namun, kemunculan berbagai virus Covid-19 tipe baru membuat cahaya harapan seakan kembali menjauh.
Jangan biarkan cahaya tersebut hilang begitu saja. Cahaya itu akan tetap ada selama kita terus berusaha mendaki. Pilihan memang kembali pada diri masing-masing, seberapa jauh Sobat mau mendaki?
Ikuti Online Training People Resilience yang akan kami adakan pada 12 Agustus 2021. Link Pendaftaran: https://bit.ly/3h3gLJh