Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Nusantara Dalam Perspektif Knowledge-Creating Company

Jika Anda pernah membaca cerita mengenai kerajaan Majapahit yang merupakan cerita popular di Indonesia, Anda pasti menyadari bahwa leluhur bangsa kita adalah para pekerja keras yang sangat berambisi untuk meningkatkan martabat bangsa di kalangan dunia. Patih Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara memiliki cerita sukses dalam memperluas daerah kekuasaan Nusantara yang meliputi Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Singapura dan sebagian Filipina. Sayangnya kejayaan kerajaan Majapahit runtuh ketika Patih Gajah Mada wafat.

Jika Anda membaca berbagai cerita kepahlawanan Indonesia lainnya, Anda akan menemukan siklus cerita yang sama yaitu sebuah kerajaan atau pergerakan nasionalisme yang sukses di bawah kepemimpinan seorang tokoh dan hancur ketika tokoh tersebut meninggal. Sebut saja beberapa contohnya seperti : Sisingamangaraja, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponogero, Imam Bonjol, dll. Jika saat itu para Raja telah mengenal teori SECI (Socialization, Externalization, Combination dan Internalization) dari Hirotaka Takeuchi dan Ikujiro Nonaka (1991), saya yakin Indonesia akan lebih cepat merdeka. Karena dengan menerapkan teori tersebut, Para Raja dapat membiasakan tokoh-tokoh handal mereka untuk melakukan proses tacit to explicit knowledge yang mereka miliki supaya tidak menjadi milik tiap individu saja tetapi juga bisa dimiliki oleh orang lain juga di organisasi tersebut, sehingga pengetahuan tersebut menjadi milik organisasi. Saat tokoh handal wafat, kerajaan tidak akan mengalami kemunduran performa yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan tersebut.

Untuk kita yang lebih beruntung dan hidup di zaman yang telah mengenal Knowledge Management, pernahkan kita berpikir untuk kembali me-review strategi kita saat ini dalam pengelolaan pengetahuan di perusahaan? Pengalaman kami di PQM Consultants dalam berbagai project yang telah kami kerjakan, alih-alih mengelola pengetahuan yang ada di perusahaan, mereka justru sibuk membeli berbagai software berkapasitas tinggi untuk memfasilitasi pengunggahan (upload) file/ modul training dibandingkan memikirkan strategi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran untuk melakukan “sharing knowledge” dari para “star” yang ada di organisasi. Ironisnya, perusahaan tersebut justru semakin gencar mengirim para karyawan “star” untuk mengikuti program pelatihan dan lupa untuk memberikan kewajiban kepada karyawan tersebut untuk melakukan sharing knowledge atau best-practice yang pernah mereka lakukan di organisasi.

Pemikiran ini merupakan pemikiran yang salah karena karyawan “star” bukanlah karyawan yang membutuhkan penambahan pengetahuan tetapi orang yang seharusnya membagikan pengetahuan mereka. Jadi mulailah untuk memberikan kepada mereka tanggung jawab untuk mengerjakan lebih banyak hal-hal baru dan membagikan pengetahuan yang mereka miliki sehingga organisasi Anda tidak sia-sia. Pergerakan tren saat ini yang mengedepankan sharing knowledge dirasa masih kurang konsisten karena perusahaan masih takut dianggap memberikan pekerjaan tambahan kepada karyawannya dan takut dituntut untuk memberikan kompensasi dari “tugas tambahan” tersebut. Sungguh berat jika hal tersebut menjadi faktor yang menghambat percepatan proses penyebaran pengetahuan perusahaan.

Lalu apa yang harus dilakukan perusahaan untuk mengatasi hal tersebut? Tumbuhkan kesadaran dari karyawan untuk saling berbagi pengetahuan agar kegiatan tersebut menjadi kegiatan yang disadari memiliki manfaat signifikan terhadap karyawan dalam melakukan tugas dan pekerjaan mereka sehari-hari serta pengembangan kompetensi mereka. Karena akan sangat sia-sia jika Anda sudah berusaha memberikan banyak sekali reward kepada karyawan dalam melakukan sharing knowledge tetapi tema yang dibagikan justru tidak relevan dengan kebutuhan mereka, komitmen pun tidak akan terbangun dalam kondisi ini. Selain itu libatkan top management dalam kegiatan ini sehingga karyawan Anda memahami bahwa program ini bukanlah program main-main dan sepenuhnya didukung oleh management. Keterlibatan dan kehadiran top management dalam kegiatan ini akan menjadi reinforcement karyawan untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan program ini.

Berdasarkan pengalaman kami, kedua hal tersebut merupakan strategi terberat dan terutama yang harus dilakukan secara paralel. Tetapi saat kedua hal tersebut berhasil dijalankan, tidak diperlukan biaya investasi yang besar untuk perusahaan dalam menerapkan sharing knowledge ini. Karena knowledge management bukan sekedar mengumpulkan seluruh materi, SOP, WI, Memo, dll yang dimiliki perusahaan di satu aplikasi khusus tetapi knowledge management adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh pengetahuan dan keterampilan yang masih menjadi tacit knowledge karyawan bisa di bagikan kepada orang lain sampai dengan terinternalisasi menjadi tacit di setiap karyawan juga. Maka dari itu berhentilah menjadi “One Man Show” dan mulailah menjadi “Show and Tell Man”.

Related posts