Banyak orang merasa tak sadar ketika terjebak dalam pola pikir keliru (logical fallacies) saat menentukan keputusan bisnis. Pola pikir keliru yang juga dikenal dengan istilah logical fallacies merupakan argumen berdasarkan logika yang salah serta retorika yang mengandung kesalahan fatal. Sehingga kekeliruan tersebut cenderung merusak kebenaran, mengarahkan pada kesimpulan yang keliru serta berisiko menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Dalam menjalankan bisnis, sebaiknya kita menghindari kesalahan yang disebabkan oleh logical fallacies. Empat contoh logical fallacies yang kerap terjadi dan harus dihindari dalam menjalankan bisnis yaitu:
Hasty Generalization
Seberapa sering kita membuat keputusan secara tergesa-gesa dengan data dan fakta yang seadanya?
Hal ini memang kerap terjadi dalam rutinitas bisnis. Misalnya, kita menganggap produk baru yang kita tawarkan sangat dibutuhkan pelanggan berdasarkan riset yang dilakukan dengan cara browsing di internet. Namun, kita tidak menyadari bahwa data dari riset sederhana itu hanya berupa sampel untuk mendukung argumen pribadi dalam berbisnis.
Akibatnya, kita harus menghadapi kenyataan bahwa produk tersebut tidak dibutuhkan oleh pelanggan karena beragam kondisi yang tidak diprediksi sebelumnya. Itulah sebabnya kita wajib mengumpulkan fakta dan data sebanyak mungkin agar tidak terjebak menggeneralisasi keadaan.
Argument from Authority
Budaya timur mengajarkan kita untuk menghormati orang yang lebih tua, termasuk saat kita berkecimpung di bidang organisasi atau perusahaan. Karyawan senior atau atasan dianggap sebagai orang yang lebih tua sehingga harus dihormati. Anggapan tersebut tentu bukanlah sesuatu yang buruk. Namun, pemahaman tentang norma kesopanan yang terlalu kaku bisa menjebak kita dalam kondisi argument from authority.
Argument from authority dapat didefinisikan sebagai sikap patuh terhadap pendapat atau pandangan orang yang dihormati tanpa mempertimbangkan sisi kebenaran atau kesalahannya. Secara alamiah, kita akan cenderung mendengarkan dan percaya pada ide atau pandangan yang disampaikan atasan. Padahal, ide atau padangan tersebut belum tentu selalu benar hanya karena hal tersebut berasal dari senior atau atasan.
Sebaiknya kita tidak langsung mempercayai hal-hal baru yang kita dengar dari siapa pun di lingkungan bisnis, termasuk para senior dan atasan. Kita harus mampu menanggapinya dengan pemikiran logis dan bersikap proaktif jika menemukan hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran.
Tak hanya bersumber dari senior atau atasan, argument from authority juga dapat terjadi pada berbagai kesempatan lain, misalnya saat kita membeli produk-produk ATK untuk kebutuhan kantor. Biasanya kita tergugah memilih merek tertentu karena baru menyimak iklan di media sosial yang menyatakan bahwa merek tersebut bagus.
Red Herring
Kekeliruan pola pikir yang satu ini terjadi saat seseorang menyampaikan argumen atau pandangan yang tidak relevan dengan topik yang sedang dibahas. Tujuannya adalah untuk mengalihkan perhatian kita terhadap hal yang sifatnya lebih penting.
Contohnya, ketika atasan menemukan kesalahan dalam pekerjaan kita sehingga ada konfrontasi yang menjadi konsekuensinya. Alih-alih memberikan penjelasan atas kesalahan yang dibuat, kita malah memberikan beragam alasan lain atau mengalihkan fokus ke topik pembicaraan lain agar kesalahan kerja tersebut tidak dibahas lebih lanjut. Sebagai sosok profesional, kita harus menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan masalah hingga tuntas. Jangan sampai kita mengalihkan perhatian bahkan melimpahkan kesalahan pada pihak lain.
Appeal to Tradition
Nostalgia memang menjadi hal yang menarik bagi semua orang. Maklum saja, kenangan masa lampau sering terasa lebih indah daripada realita yang harus kita hadapi saat bekerja. Kebiasaan bernostalgia bahkan bisa ditemukan dalam bisnis, tepatnya saat seseorang terjebak memori masa lalu dalam mengambil keputusan penting.
Kita sudah terbiasa mengerjakan sesuatu dengan cara lama serta merasa terusik saat ditawarkan cara baru yang lebih efisien dan efektif. Banyak karyawan yang tak mau beralih menggunakan cara baru karena menganggap cara yang lama pasti benar. Bahkan, tak sedikit pula orang yang menentang project improvement yang bertujuan meningkatkan efisiensi kerja dan memilih berpegang teguh pada cara-cara lama. Kepatuhan terhadap tradisi mencerminkan keengganan untuk mencoba hal-hal baru. Sayangnya, hal ini menunjukkan kemunduran yang berdampak buruk bagi bisnis.
Tak masalah bila kita pernah melakukan kekeliruan pola pikir tersebut di masa lalu. Kini, kita masih punya banyak waktu untuk mengembangkan bisnis dengan cara yang inovatif tanpa terjebak dalam pola pikir yang menyesatkan. Mari bersikap terbuka terhadap perkembangan zaman dan perubahan tren serta selera masyarakat.
Arief H