Menerapkan Problem Solving di Perusahaan Konstruksi

Apakah anda pernah menghadapi masalah? Apakah masalah tersebut berulang? Dan apakah dampak dari masalah tersebut?

Jika kita cermati satu persatu pertanyaan di atas, jawaban dari pertanyaan pertama, setiap orang pasti pernah mempunyai masalah, hanya saja apakah masalah tersebut terjadi kembali atau masalah tersebut telah terpecahkan solusinya sehingga pertanyaan kedua tidak muncul. Tetapi jika belum terpecahkan kemungkinan masalah tersebut muncul kembali pasti ada. Jawaban dari pertanyaan yang ketiga bisa beraneka ragam, mungkin bisa saja berdampak kecil atau dapat mengakibatkan complaint dari orang lain atau berdampak bagi diri kita, lingkungan kita atau perusahaan kita.

Di dalam dunia konstruksi pun banyak sekali permasalahan yang terjadi dan dampaknya bisa bermacam-macam. Mulai dari re-work, kecelakaan kerja, hingga kesalahan struktur di dalam konstruksi yang dapat mengakibatkan runtuhnya bangunan.

Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah masalah terjadi dan meminimalisasi dampak yang terjadi ?

  1. Pertama-tama kita harus peka terhadap masalah. Masalah dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara kondisi yang terjadi (actual) dengan kondisi yang diharapkan (standard). Dilihat dari definisi tersebut maka kita harus mempunyai dan memahami standard dari proses atau hasil yang kita kerjakan. Dalam dunia konstruksi maka kita harus mempunyai standar proses kerja dan hasil yang sesuai contoh dari standar proses kerja adalah metode kerja/instruksi kerja, standar hasil pekerjaan, rencana kerja dan syarat-syarat (RKS), Rencana Mutu Projek, Working drawing, dan standard kerja lainnya. Pada saat kita mengetahui ada salah satu pekerjaan yang tidak sesuai dengan standar, kita harus peka bahwa itu adalah masalah yang harus kita pecahkan sebelum menimbulkan masalah yang lebih besar. Prinsip 1 : 10 : 100 : 1000 : tidak terhingga akan berlaku. Jika kita pecahkan masalah sejak awal maka kerugian yang kita tanggung hanya 1, tetapi jika kita biarkan maka kerugian kita tanggung akan semakin besar (menjadi 10). Jika semakin ditunda dan sampai kepada customer, maka kerugian bisa menjadi tidak terhingga karena banyaknya masalah dan tentunya akan menurunkan reputasi perusahaan. Dalam mengidentifikasi masalah sebaiknya kita sertakan bukti atau visualisasi, baik berupa gambar, foto, denah, proses kerja atau visualisasi lainnya agar berfokus pada maslaah yang akan diselesaikan. Sekarang kita lihat contoh kasus yang terjadi pada dinding yang mengalami Crack dengan visualisasi sebagai berikut:
  2. Kedua, setelah kita peka terhadap masalah dan memvisualisasikan masalah tersebut, maka tahap berikutnya kita akan melakukan analisa penyebab suatu masalah. Kita bisa menggunakan berbagai macam tools untuk mencari akar penyebab masalah seperti Why-why analysis, Diagram tulang ikan, root cause analysis, 3 legged 5 whys, dan lain-lain. Tools yang umumnya digunakan adalah diagram tulang ikan (fishbone). Jika kita melihat dari kasus adanya crack pada dinding maka kita bisa mencari akar penyebab masalah dari berbagai faktor 4M1E seperti Man (skill pekerja), Metode (teknik pengerjaan dinding), Material (semen, pasir, air dll), Mesin (molen, dolak, dll) serta lingkungan sekitar seperti cuaca.
  3. Setelah kita mendapatkan akar penyebab masalah dan setelah kita verifikasi keabsahannya, langkah selanjutnya yang kita lakukan adalah menyusun rencana perbaikan dan melakukan perbaikan berdasarkan akar penyebab masalah.
    Pada saat melakukan perbaikan, pastikan semua pihak-pihak terkait seperti pekerja, mandor, main contractor, Manajemen Konstruksi (MK) dan pihak owner memahami perbaikan dan hasil yang ingin dicapai. Perbaikan yang dilakukan adalah menjawab dari akar penyebab masalah yang sudah didapatkan dari langkah sebelumnya. Sebelum melakukan perbaikan sebaiknya dilakukan pengujian terbalik (jika … maka…) berdasarkan diagram tulang ikan sebelumnya. Sebagai contoh sebagai root cause dari adanya balok keropos karena tidak adanya standard jarak antara bekisting, kita akan menggunakan jika maka sebagai berikut:
    Jika sudah ditetapkan standard jarak antara bekisting sebesar maksimal 3mm maka pemasangan bekisting tidak akan lebih lebih dari 3mm, jika jarak antara bekisting tidak lebih dari 3mm maka air dari kandungan cor beton tidak akan banyak keluar, jika air dalam kandungan cor beton tidak banyak keluar maka balok tidak akan keropos”
  4. Keempat, setelah melakukan perbaikan jangan lupa melakukan pemeriksaan ulang terhadap hasil perbaikan. Jika sudah mampu menjawab masalah dan  tidak terjadi lagi masalah lainnya, maka kita harus melakukan standarisasi terhadap proses kerja dan hasilnya. Standarisasi dari proses dan hasil improvement dapat dilakukan dengan merevisi standard seperti project quality plan, metode kerja, checklist atau standard kerja lainnya.
  5. Bagian terakhir setelah melakukan standarisasi adalah memonitor dan mengontrol standard agar dijalankan dengan baik untuk mencegah masalah berulang.

Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan wawasan dalam melakukan problem solving. Problem solving dalam dunia konstruksi sangat diperlukan untuk memastikan bahwa target safety, biaya, mutu dan waktu yang telah ditetapkan di awal project dapat dicapai.

Related posts