Apa Itu Budaya Continuous Improvement?
Membangun budaya continuous improvement alias perbaikan yang berkelanjutan yang efektif bukan hanya tentang mengeksekusi satu atau beberapa proyek improvement. Walaupun menjalankan proyek adalah cara yang baik untuk mulai menuai hasil yang nyata, organisasi Anda perlu lebih banyak upaya untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan dari waktu ke waktu—untuk menanamkan CI dalam DNA organisasi Anda.
Sebagian besar organisasi memiliki pengetahuan tentang berbagai tools dan prinsip continuous improvement (CI) dengan benar. Sayangnya, banyak dari mereka belum memiliki komitmen atau kerangka kerja kepemimpinan yang diperlukan untuk membangun manajemen proses perbaikan yang formal, sistemik dan berkelanjutan. Sebut saja ini sebagai ‘DNA CI’ yang berperan dalam menumbuhkan benih-benih budaya continuous improvement (CI) di organisasi.
DNA CI berperan sebagai perekat yang menetapkan landasan budaya continuous improvement (CI). DNA ini memungkinkan semua individu dalam organisasi untuk terus memperbaiki dan meningkatkan cara kerja mereka melalui pendekatan CI yang terstruktur dan terpadu. Ibaratnya mata rantai yang hilang, jika DNA ini belum terbentuk dalam organisasi, maka upaya pelestarian budaya continuous improvement (CI) akan terhambat.

Sebagai contoh, DNA CI dan budaya organisasi di Toyota tercipta selama 70 tahun, dan masih semakin kuat hingga saat ini. Pabrikan mobil ikonik ini mengikuti pendekatan sistemik untuk memastikan filosofi improvement-nya ditanamkan pada setiap anggota organisasi. Itulah sebabnya Sistem Produksi Toyota (TPS) kini menjadi ‘cawan suci’ di dunia continuous improvement.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia diharapkan untuk terus belajar dari keberhasilan Toyota dalam menerapkan TPS. Namun kita juga harus memenuhi kebutuhan bisnis kita sendiri, digerakkan dan ditenagai secara budaya oleh proses perbaikan yang sistemik.
Tentu saja kita tak bisa meniru cara kerja Toyota seratus persen. Menyuruh karyawan untuk menggunakan tools, template, dan metodologi baru, lalu mengharapkan mereka untuk berprestasi seperti individu di Toyota sama saja memancing penolakan budaya.
Mengapa Budaya Continuous Improvement Sulit Diterapkan?
Kita tidak bisa meng-copas budaya. Sebaliknya, kita harus memelihara dan mengembangkan pola perilaku yang memungkinkan terciptanya budaya yang unggul. Yang sangat penting untuk dilakukan adalah menentukan bagaimana perilaku karyawan akan diukur dan dilembagakan. Untuk itu, kita perlu mendefinisikan serangkaian indikator yang bermakna dan memasukkannya ke dalam sistem manajemen kinerja di organisasi kita.
Keterlibatan setiap anggota manajemen adalah faktor penentu keberhasilan yang paling penting dalam menciptakan budaya Continuous Improvement di organisasi. Organisasi dengan para pemimpin yang berinvestasi dalam pelibatan karyawan dan teknologi—dan yang secara konsisten menerapkan metodologi peningkatan yang diatur—memiliki semua hal yang diperlukan untuk bisa berhasil dalam membudayakan perbaikan berkelanjutan.
Lalu bagaimana cara melakukannya? Penulis dan pakar CI pemenang Shingo Prize Dan Markovitz membagi beberapa tips dalam sebuah tulisannya:
Manajemen harus ikut bekerja menggunakan ‘perlengkapan’ yang dibutuhkan
Menurut Markovitz, banyak organisasi masih terobsesi dengan dengan ‘perlengkapan’ lean: kaizen submission card, A3 form, visual management board, daftar 5S, dan sejenisnya. Namun tanpa nilai-nilai dan sikap manajemen yang tepat, ‘perlengkapan’ ini hanya menjadi sekedar pekerjaan tambahan yang tidak berarti bagi staf dan perusahaan.
Ketika manajemen tidak benar-benar mendukung stafnya dalam penyelesaian masalah A3—tidak hanya dengan melatih karyawan, tetapi dengan memberi mereka waktu untuk mengatasi masalah tersebut—maka A3 hanyalah akan menambah tumpukan file tak terpakai.
Ketika kepemimpinan tidak melihat dan mencermati visual management board setidaknya beberapa kali per minggu untuk mengajukan pertanyaan, mempelajari apa yang sedang dikerjakan staf, dan memberikan bantuan yang diperlukan, maka papan tersebut dengan cepat menjadi sekedar mading untuk diisi.
Kita tidak dapat memimpin dengan hanya menggunakan ‘perlengkapan’ lean. Perlengkapan tersebut hanya akan memberikan value ketika diiringi dengan perubahan perilaku kepemimpinan.
Berfokus pada budaya alih-alih perilaku
Edgar Schein—pakar manajemen terkemuka dari MIT—berpendapat bahwa kita tidak dapat benar-benar mengubah budaya dengan cara memaksa. Mengubah cara berpikir orang adalah pekerjaan yang mustahil. Sebaliknya, para pemimpin harus mencoba mengubah cara orang bertindak dalam organisasi dengan mendefinisikan perilaku yang mereka inginkan, memberikan pelatihan tentang perilaku tersebut, dan kemudian memperkuat perilaku itu dengan insentif dan hukuman yang tepat.
Seperti yang dikatakan oleh Shook dengan singkat, “Lebih mudah untuk bertindak sesuai dengan cara berpikir Anda yang baru daripada memikirkan cara Anda untuk bertindak dengan cara yang baru.”
Jika kita ingin karyawan lebih fokus pada kualitas, maka kita perlu mengajari mereka keahlian problem solving yang mendasar. Luangkan waktu untuk berpartisipasi dalam lingkaran QC harian. Bawa staf kita menemui pelanggan sehingga mereka dapat mendengar secara langsung betapa kualitas yang buruk akan mempengaruhi bisnis dengan pelanggan, dan sebagainya.
Jika kita menginginkan budaya yang lebih berpusat pada pelanggan, secara bergiliran tempatkan staf dari departemen lain dalam pekerjaan temporer di departemen layanan pelanggan, atau minta mereka bergabung dengan staf penjualan dalam kunjungan ke pelanggan.
Jika kita ingin menumbuhkan budaya yang lebih inovatif, maka kenali dan rayakan upaya melakukan sesuatu yang baru—bahkan jika itu tidak berhasil.
Gray Advertising, misalnya, menganugerahkan “Heroic Failure Award,” lengkap dengan upacara dan piala, untuk karyawan yang telah mencoba pendekatan baru dalam memperbaiki kualitas pekerjaan dan mendorong bisnis, namun gagal.
Berikan lebih banyak komitmen dan investasi
Shook melaporkan bahwa pada tahun pertama operasional perusahaan joint venture New United Motor Manufacturing, Inc. (NUMMI), 600 karyawan NUMMI dari jajaran manajer dan supervisor mengunjungi Jepang setidaknya selama dua minggu pelatihan intensif. Selain itu, Toyota mengirim sekitar 400 pelatih dari Jepang ke Amerika Serikat untuk bekerja berdampingan dengan rekan NUMMI mereka selama tiga bulan. Itu adalah investasi waktu, uang, dan orang yang luar biasa.
Sekarang lihat “investasi” yang dilakukan kebanyakan perusahaan: Mereka membentuk departemen continuous improvement atau kelompok kerja kaizen yang diisi beberapa orang; mereka mengadakan workshop yang mengajarkan lean tools, dan mereka memimpin kaizen event. Kadang-kadang mereka membiayai pelatihan karyawan untuk mendapatkan green belt atau black belt dari perusahaan pelatihan Lean Six Sigma eksternal.
Yang pasti, Toyota dan GM adalah raksasa manufaktur mobil—tidak terlalu banyak perusahaan yang mampu membelanjakan uang untuk mengirim 1.000 orang ke seluruh dunia selama berminggu-minggu sekaligus. Tetapi Anda bahkan jarang melihat komitmen untuk menginvestasikan waktu setiap hari untuk mempraktikkan lean dan memecahkan masalah.
Seorang karyawan di pabrikan HVAC pernah mengatakan bahwa awalnya, dia berpendapat lean hanyalah ‘tema’ manajemen bulan ini. Tetapi ketika presiden direktur mengatakan kepadanya bahwa dia akan dengan senang hati membayar lembur sehingga dia bisa melakukan kaizen 30 menit setiap hari, dia tahu bahwa manajemen memiliki komitmen. Dan sekarang dia adalah salah satu pendukung lean terbesar di perusahaan.
Hilangkan framing yang buruk
Banyak perusahaan mempromosikan budaya continuous improvement sebagai cara berbeda bagi karyawan untuk melakukan pekerjaan mereka. Tapi CI lebih dari itu: CI adalah perubahan mendasar dalam cara karyawan dan jajaran manajemen perusahaan dalam memikirkan dan melaksanakan pekerjaan mereka.
Sebagai contoh, pekerjaan pemasangan kabel di NUMMI adalah salah satu perubahan paling terkenal yang dilakukan Toyota ketika mereka memulai usaha patungan. Shook mengatakan bahwa rekan-rekan di GM mempertanyakan kebijakan dalam memasang sistem di NUMMI:
“Anda berniat memberi para pekerja ini hak untuk menghentikan lini produksi?” Mereka bertanya.
Jawaban Toyota: “Tidak, kami bermaksud memberi mereka kewajiban untuk menghentikannya setiap kali mereka menemukan masalah.”
Ada dua pergeseran penting dalam pola pikir di sini. Pertama adalah keyakinan bahwa memperbaiki masalah adalah kewajiban pekerja, bukan hanya hak. Sebagian besar perusahaan tidak membicarakan kewajiban ini.
Kebanyakan perusahaan berbicara tentang tool dan perlengkapan lean, pemecahan masalah dan rasa hormat kepada orang-orang, tujuan perusahaan dan fokus pelanggan. Tetapi mereka tidak menekankan tanggung jawab mutlak dan tidak dapat dinegosiasikan dari setiap pekerja untuk menghentikan proses ketika mereka melihat masalah.
Pergeseran kedua adalah perubahan sikap manajemen terhadap masalah. Bagaimana tanggapan manajemen ketika karyawan menemukan masalah dan melaporkannya kepada mereka? Ini memang klise, namun juga menjadi kewajiban manajemen untuk menghargai masalah, untuk melihatnya sebagai ‘kesempatan emas’ sehingga karyawan bersedia menerima beban kewajiban untuk menghentikan lini produksi saat ada masalah.
Seperti yang pernah dikatakan CEO Ford, Alan Mulally, “Merah (masalah) adalah permata.” Perubahan dalam pemikiran di kedua sisi ini adalah kunci untuk berhasil mengubah budaya organisasi.
Mengubah budaya organisasi bukanlah hal kecil. Butuh waktu dan ketekunan. Tetapi sebuah organisasi yang didedikasikan untuk perubahan harus menjadi organisasi yang pada dasarnya berpusat pada manusia, yang memungkinkan karyawan dan manajemen untuk berkembang dan tumbuh. Jika kita tak berfokus pada budaya dan lebih berfokus pada perubahan pola pikir kepemimpinan dan perilaku yang diinginkan, akan lebih mudah untuk menciptakan budaya yang kita inginkan.
Continuous improvement tak seharusnya memainkan peran kedua dalam organisasi yang telah menguasai praktik transformasi budaya. Mengapa? Karena setiap karyawan dan pemimpin tahu bahwa perbaikan adalah aspek kunci dari pekerjaan mereka, dan mereka mendekatinya dengan bobot dan disiplin yang sama seperti yang mereka lakukan pada indikator kinerja utama lainnya.
PQM Consultants merupakan lembaga konsultansi yang telah banyak membantu perusahaan di Indonesia dalam membantun budaya continuous improvement (CI). Explore program continuous improvement yang kami miliki untuk diterapkan di organisasi Anda.
- Total Productive Maintenance (TPM) adalah Pohon
- Implementasi Autonomous Maintenance Gampang? Waspadai 3 Tantangan Non-Teknis Ini
- Fungsi SDM dan Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Kesuksesan Bisnis
- Wajib Paham, Ini Perbedaan Human Capital dan Human Resource!
- Total Involvement dalam TPM: Belajar dari Strategi Sepak Bola