Setelah malang melintang di berbagai perusahaan group Komatsu, Pratjojo Dewo dipercaya menukangi PT. Komatsu Indonesia sebagai President Director di tahun 2014. Melalui tangan dingin disertai ketegasannya, pada November 2018, PT Komatsu Indonesia berhasil meraih Deming Prize, sebuah penghargaan prestisius yang diberikan oleh Japanese Union of Scientists and Engineers (JUSE) kepada perusahaan yang berhasil menerapkan Total Quality Management (TQM).
Redaksi Improve dari PQM Consultants, berkesempatan mewawancarai alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) tentang perjalanannya meraih Deming Prize. Ada banyak insight dari kisah inspiratif yang bisa disimak dalam wawancara berikut ini.
Bisa ceritakan bagaimana latar belakang penerapan TQM di PT Komatsu Indonesia?
Sebenarnya ini sudah dimulai sejak tahun 2014. Sebelum mulai implementasi, saya dalam beberapa tahun sebelumnya ikut aktif dalam proses merger beberapa perusahaan dalam lingkup Komatsu di Indonesia. Dari sana kami mendapatkan insight tentang perusahaan, kemudian melihat juga situasi ekonomi dan bisnis yang berkembang.
Sehingga kami rasa perlu memperkuat fondasi kami, caranya dengan melakukan operational excellence. Untuk itu kami memilih mengimplementasi Total Productive Maintenance (TPM) di PT Komatsu Undercarriage Indonesia (KUI) dan Total Quality Management (TQM) di PT Komatsu Indonesia (KI).
Apa langkah awal yang Anda dan tim lakukan?
Waktu itu, saat saya masih di PT Komatsu Undercarriage Indonesia, banyak mesin yang sudah berusia lama. Ada yang 30 tahun (mengakibatkan) breakdown dan productivity sangat mempengaruhi proses produksi. Untuk itu kami ber-TPM supaya bisa terus kompetitif. Hasilnya cukup berhasil. Berkaca dari proses merger dengan saya yang terlibat di dalamnya, saya meyakini bahwa perubahan dalam implementasi program improvement harus berlandaskan pengembangan manusia juga.
Aspek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) ini juga sejalan dengan spirit manufacturing yang ditafsirkan ulang oleh Komatsu Group lewat Komatsu Way. Di mana budaya kami harus (menjadi) satu dulu sebelum menjalankan program improvement. Kemudian saya pindah ke Komatsu Indonesia, dengan semangat Komatsu Way yang sudah mulai terlihat dan pelajaran yang diperoleh dari proses merger tadi, tercetuslah ide untuk mengimplementasikan TQM.
Pada awalnya, saat menerapkan baik TPM maupun TQM, kami sama sekali tidak memikirikan challenge (upaya mendapatkan penghargaan). Kami hanya berpikir bagaimana program-program ini bisa kami implementasi dahulu, baru kemudian terjadi perubahan budaya dan yang terpenting perubahan mindset manusia yang akan mengerjakan ini semua.
Hal apa saja yang terjadi di awal implementasi TQM?
Manusia pada dasarnya nyaman pada kondisinya yang sekarang. Padahal hal tersebut belum tentu yang terbaik. Situasi selalu berubah. Challenge, kompetisi, tuntutan customer juga terus semakin besar dan meningkat. Jika kita tidak berkaca dan melakukan perbaikan, maka kita lenyap, tertelan persaingan, pelanggan kehilangan kepercayaan kepada kita. Mengubah pola pikir tersebutlah yang sebetulnya susah untuk dilakukan.
Dari implementasi TPM di KUI dan TQM di KI, saya belajar bahwa diperlukan energi yang besar untuk menggerakkan karyawan dari kondisi stagnan menuju perubahan. Energi yang saya maksud di sini adalah energi yang munculnya dari dalam hati. Itulah sebabnya saya percaya bahwa program-program yang kami implementasi tidak bisa hanya sekadar directing.
Banyak orang yang berpikiran bahwa perubahan itu perlu, tapi saat ditanya siapa yang mau berubah lalu mereka diam dan jadi sepi. Maka dari itu, sebagai atasan kita harus berkaca pada ucapan Gandhi, “we have to be the change we want to see”, bagi saya atasan harus mencontohkan seperti apa perubahan yang ingin kita tuju. Kesuksesan dan inti dari implementasi TPM dan TQM adalah bagaimana bisa meng-energize orang lain.
Bagaimana cara Anda menghindari memerintah dan lebih memberi contoh pada karyawan?
Saya sudah bekerja lebih dari 30 tahun, dari seluruh pengalaman saya bekerja, saya menyadari bahwa ‘menyadarkan’ orang lain merupakan hal yang tidak mudah.
Untuk bisa melakukan hal tersebut, arahan top to bottom itu tetap perlu dilakukan, namun kuncinya harus menyadarkan dengan cara cascading, menurun secara terencana, terkendali dan bisa kita nilai arahan kita apakah dikerjakan dengan baik atau tidak. Apalagi yang sifatnya bottom up, saya rasa baik TPM atau TQM tidak tepat jika dilakukan secara bottom up.
Dalam melakukan bergam improvement, saya terkesima pada salah satu tahapan TPM yaitu initial cleaning. Tahapan ini sangat filosofis sekali. Di mana mulai dari top management sampai shopfloor, sama-sama membersihkan dan belajar karakter mesin dan diajak berfikir untuk melakukan improvement.
Contohnya, jika ada mesin yang tingginya 3 meter, semua pihak harus ikut membersihkan, baik staf maupun management. Bisa bayangkan jika top management hanya ‘menyuruh’ saja, tentunya akan ada pikiran-pikiran bahwa kegiatan ini hanya menyusahkan karyawan. Tetapi jika top management-nya ikut juga turun tangan, maka akan terbentuk empati dengan operatornya.
Apakah saat ini karyawan Anda sudah paham akan hal tersebut?
Sampai saat ini (ketika artikel ditulis) belum sepenuhnya tertanam di sanubari karyawan kami. Target kami hal tersebut harus menjadi DNA di setiap karyawan. Jika sudah tertanam menjadi nilai maka semuanya sudah otomatis berjalan sesuai yang diharapkan.
Bagi saya pencapaian Deming Prize untuk TQM dan Excellent Award untuk TPM itu adalah titik awal untuk membentuk DNA karyawan Komatsu yang memiliki nilai Komatsu Way dalam setiap aktifitasnya sehari-hari. Penghargaan ini hanya menunjukkan bahwa pola direction network yang kami laksanakan, sudah benar. Tinggal diimplementasi secara efektif dan berkelanjutan.
Waktu menjalankan TQM, pasti Anda mengajak orang yang Anda percaya yang bisa diajak bekerjasama, siapa saja mereka?
Tentunya kami merangkul orang-orang terdekat dari yang memiliki jabatan tertinggi dan mampu menyebarluaskan program-program yang akan dijalankan. Saya merasa beruntung karena para pendiri perusahaan, Almarhum Bapak Budiharjo (Ketua Dewan Yayasan Komatsu Indonesia) dan Bapak Bambang Haryanto Presiden Komisaris KUI (saat ini Presiden Komisaris) mendukung inisiatif TQM di mana saat itu saya ditujuk sebagai Project Leader-nya.
Kemudian yang kami lakukan adalah menggalang komitmen dari para eksekutif dan General Manager untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya TQM, kemudian cascading dan deployment. Jadi polanya bukan kami mengajak ‘Expert’ lalu mengajar yang lain. Tetapi waktu itu, saya yang mengajar dasar-dasar TQM ke para eksekutif. Kemudian para eksekutif melakukan hal yang sama ke General Manager (GM) atau Manager, dari GM/Manager ke Supervisor, dan seterusnya. Hanya pada momen-momen tertentu saya juga turun langsung untuk mengajarkan TQM kepada seluruh karyawan seperti tiap enam bulan sekali dalam forum Sambung Rasa. Pada akhirnya yang real melakukan adalah teman-teman di lapangan.
Selain menjalankan program improvement dari hati dan memiliki support system yang kuat dari Top Management, apa hal lain yang dikerjakan KI sehingga TQM bisa berjalan?
Kami membuat special organization yang terdiri dari Senior Management, yang disebut TQM Promotion Office. Organisasi ini terdiri dari Senior Management, dan direksi yang bertugas mengawal jalannya program TQM. Hal ini juga diterapkan di KUI saat melakukan implementasi TPM.
Apakah ada kendala apa yang Anda temukan?
Kami menyadari bahwa dalam perubahan, pasti akan ada resistensi atau penolakan. Tapi kami melihat ini sebagai hal yang memang harus dialami dan dilewati. Saat kami implementasi TPM di KUI, kami telah memperkirakan dalam tiga bulan pertama hasil improvement-nya meningkat, karena karyawan menemukan hal baru dan menarik.
Kami mencoba untuk tidak memaksakan implementasi TPM ataupun TQM masuk ke Key Performance Indicator (KPI) karena efek yang dirasakan biasanya tidak konsisten. Kami percaya pada proses dan meyakini jika karyawan menemukan sendiri solusi dari masalah yang ada, mereka akan menjadi matang dengan proses tersebut.
Promotion Office ini sama halnya dengan konsultan, di mana PQM Consultants juga melakukannya, yaitu memfasilitasi orang lain supaya menemukan masalahnya sendiri. Bukan dengan langsung memberi solusi pintas.
Selain itu, pada tahun 2013 kami mengalami declining produksi karena industri tambang sedang lesu, kemudian terpaksa karyawan kontrak harus kami rumahkan. Pada akhir 2016-2017 permintaan produksi meningkat tajam sehingga kami harus merekrut banyak pegawai kontrak dan juga permanen. Pada titik ini kami cukup struggle karena di saat bersamaan mengimpelementasi TQM dan juga mengajarkan ilmu ke karyawan-karyawan baru.
Apa yang akhirnya memicu Komastu Indonesia mengejar penghargaan Deming Prize?
Setelah 1-2 tahun berjalan, kami merasa perlu mengukur keberhasilan implementasi. Selain itu, Komatsu Ltd. juga menantang kami untuk melakukan hal tersebut. Kemudian barulah kami mencari, apakah ada platform yang bisa mengukur ini semua? Akhirnya, kami sepakat untuk men-challenge diri sendiri mengikuti Deming Award pada tahun 2014. Awalnya kami fokus dahulu kepada introduction, bagaimana menjalankan pilar-pilar TQM, salah satu di dalamnya mengenai policy management dan daily management yang tentunya dibantu oleh PQM Consultants.
Menurut Anda kenapa program TQM di KI bisa berjalan dan akhirnya mendapat Deming Prize?
Salah satu hal yang berbeda adalah kami menjalankan TQM dengan mengadopsi pendekatan TPM. Namun ini hanya kami prioritaskan di beberapa pilot atau tempat tertentu saja, kemudian kami duplikasi. Kami berpikir TPM style ini sangat bagus dalam hal efisiensi dan sangat efektif untuk tingkat shopfloor, khusnya saat analisa lossess.
Karena TQM ini dikerjakan oleh seluruh orang, kami juga melibatkan karyawan kontrak dalam kesehariannya. Mereka juga kami ajak untuk melakukan improvement, QC, QCC merupakan hal wajib yang harus dilakukan miminal 2 cycles dalam satu tahun.
Setelah mendapat penghargaan prestisius Deming Prize, apa langkah Anda ke depan?
Saya sempat berdiskusi hal ini dengan salah satu Mpu (Karyawan senior atau berpengalaman) di Takumi Training Center (Pusat training Komatsu), setelah Deming Prize, apa yang akan kita lakukan? Tentunya kami ingin implementasi TQM agar berkelanjutan. Apa yang kami lakukan agar program improvement berjalan selama ini menggunakan pendekatan militer, baris berbaris, sigap dan displin, namun kami rasa cara seperti ini tidak akan membuat TQM sustain. Menurut kami ke depan yang harus dilakukan agar program implementasi apapun berjalan adalah mengajak orang agar lebih peduli dan memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang ia kerjakan dan ia punya di area kerja dan perusahaannya.
Arief/Andre